LANJUTAN BAB IV: UBAIDILLAH DAN ABDULLAH BUKAN SATU ORANG BERDASAR KITAB AL-SULUK
Kitab al-Suluk, adalah salah satu andalan para Habaib untuk menisbahkah
ketersambunan nasab mereka kepada Rasulullah. Walaupun kitab ini masih jauh
dari masa wafatnya Ahmad bin Isa tahun 345 H. minimal, menurut usaha para
Habaib, kitab ini, menjadi matarantai ketersambungan, sehingga tidak putus
terlalu panjang sampai 651 tahun, terhitung dari wafatnya Ahmad sampai
ditulisnya nama merek a di kitab Tuhfat al Tholib tahun 996 H.
Para pembela nasab para habib Ba
Alawi di Indonesia mengatakan bahwa Ubaidillah sudah dicatat pada abad delapan.
Yang demikian itu, katanya, terdapat di kitab al-Suluk karya al-Jundi (w.730
200البرقة المثٌقة: 363
H.), yaitu ketika ia menyebut nama Abdullah sebagai
anak Ahmad. Apakah benar Abdullah yang disebut al-Jundi itu sosok yang sama
dengan Ubaidillah leluhur para habaib?
Menurut penulis, jika
seandainya-pun benar, bahwa Ubaidillah adalah sosok yang sama dengan Abdullah,
tetap masih terputus riwayat selama 385 tahun dihitung berdasar wafatnya Ahmad
bin Isa tahun 345 H sampai wafatnya al-Jundi pengarang kitab al-Suluk yang
wafat tahun 730.
Apalagi, yang penulis temukan justeru
menunjukan bahwa Abdullah ini sama sekali bukan Ubaidillah. Ia orang yang
berbeda.
Sebelum penulis lanjutkan, mari kita
lihat ibaroh yang ada pada kitab al-Suluk karya al-jundi yang menyebut nama
Abdullah bin Ahmad bin Isa. Ada beberapa ibaroh di halaman berbeda yang
menyebut tentang Abdullah dan Banu Alawi: Ibaroh pertama:
مِنْ هُم ابو اتْٟسن عَليّ بن تُ٤مَّد ا بن
أتْٛد بن حَدِيد بن عَليّ بن تُ٤مَّد بن حَدِيد بن عبد الله بن أتْٛد بن عِيسَى بن
تُ٤مَّد بن عَليّ ابن جَعْفَر الصَّادِق بن تُ٤مَّد الباقر بن عَليّ بن زين
العابدين بن اتُْٟسَتُْ بن عَليّ ابن ابي طالب كرم الله وجهو وَيعرف بالشريف ابي
اتْٟدِيد عِ نْد أىل الْيمن اصلو من حَضرمَوْت من اشراف ىُنالك يعْرفونَ بَال ابي
علوي بيت صَلَاح وَعبادَة على طرِيق التصوفٖٓٔ
“Sebagian dari mereka adalah Abu al-Hasan, Ali, bin Muhammad bin Jadid
(Hadid, dua riwayat manuskrip) bin
Abdullah bin Ahmad bin Isa bin Muhammad bin Ali bin Ja‟far al-Shadiq
bin Muhammad al-Baqir bin Ali bin Zainal Abdidin ( seharusnya tidak ada bin,
karena Zainal Abdin adalah laqob
Ali) bin al-Husain bin
Ali bin Abi Tholib karramallahu wajhah,
203السلوك، المكتبة الشاملة: 2/326-327
dan dikenal dengan nama Syarif Abul Jadid menurut penduduk Yaman,
asalnya dari Hadramaut dari para syarif di sana yang dikenal dengan Al Abi
Alwi, yang merupakan rumah kesalihan dan ibadah dalam tarikat tasawwuf”.
(al-Suluk, al-Maktabah al-syamilah: 2/136-137)
Perhatikan! Ketika al-jundi menyebutkan
nama-nama ulama yang datang ke Taiz, ia menyebut nama Abul Hasan Ali. Siapa
Abul Hasan Ali? Disebut oleh al-Jundi, bahwa ia dikenal dengan al-Syarif Abil
Jadid bagi penduduk Yaman, asalnya dari Hadramaut berasal dari para syarif di
sana. Mereka dikenal dengan keluarga Abu Alwi, keluarga kesalihan dan ibadah
yang berjalan dalam tarikat tasawwuf.
Al-Jundi, dalam kitabnya tersebut,
menyebut silsilah Abul Hasan Ali sebagai berikut:
1. Ali
bin Abi Talib k.w.
2. Husain
3. Ali
Zainal Abidin
4. Muhammad
al-Baqir
5. Ja‘far
al-Shadiq
6. Ali
al-Uraidi
7. Muhammad
al-Naqib
8. Isa
al-Rumi
9. Ahmad
10. Abdullah
11. Jadid
12. Muhammad
13. Ali
14. Hadid
15. Ahmad
16. Muhammad
17. Abul
Hasan Ali (617 H)
Abu Hasan Ali ini dikenal dengan nama Syarif Jadid yang berasal
dari Hadramaut.
Lalu perhatikan nasab para habib Ba Alawi sampai generasi
ke 17 di bawah ini!
1. Ali
bin Abi Talib k.w.
2. Husain
3. Ali
Zainal Abidin
4. Muhammad
al-Baqir
5. Ja‘far
al-Shadiq
6. Ali
al-Uraidi
7. Muhammad
al-Naqib
8. Isa
al-Rumi
9. Ahmad
10. Ubaidillah
11. Alwi
12. Muhammad
13. Ali
14. Alwi
15. Ali
khali qosam
16. Muhammad
Sohib mirbat (w.550 H)
17. Ali
Waldul Faqih (w.590 H.)
18. Muhammad
Faqih al-Muqoddam (653 w. H)
Perhatikan! Abul Hasan Ali, hidup
segenerasi dengan Muhammad sohib mirbat, Ali Walidul faqih, dan Faqih al-Muqoddam.
Kenapa ketika menyebut bahwa Abul Hasan berasal dari syarif-syarif di
Hadramaut, al-Jundi tidak menyebut nama Muhammad Sohib Mirbat atau Faqih
al-Muqoddam? Padahal, al-Jundi wafat tahun 730 H., seharusnya al-Jundi mengenal
Muhammad Sohib Mirbat atau
Faqih al-Muqoddam, karena disebut dalam literasi para
habib, semisal Syamsu Dzahirah (h.72), bahwa Muhammad Sohib Mirbat adalah ulama
besar dan ―syaikhul masyayikh al ajilla‘ al- a‘lam‖, gurunya para guru yang
agung dan menjadi tokoh, juga disebut dalam kitab yang sama ia sebagai ―Imam
al-a‘immah‖, imamnya para imam. Faqih al-Muqodam, menurut Solih bin Ali
al-hamid Ba Alawi dalam kitabnya, Tarikh Hadramaut (h.709), adalah ulama besar
yang sampai tingkatan mujtahid mutlak.
Seharusnya, dengan sebesar
penyebutan itu, al-Jundi mengenal keduanya, karena al-Jundi tinggal Aden,
Yaman. Yang demikian itu misalnya, al-Jundi menyebutkan: ―Syarif Abul Hasan ini
berasal dari Hadramaut dari para syarif di sana yang dikenal dengan Al Abi Alwi
satu keluarga dengan Sohib Mirbat dan Muhammad al-Faqih alMuqodam‖. Tetapi
al-Jundi tidak menyebutkan demikian. Ia hanya menyebut Abul Hasan Ali.
Hanif menyatakan bahwa al-Jundi
menyebut Faqih alMuqoddam, Ali Khali Qosam, putra solih Muhammad bin ali bin
alwi, dan sayyid Abdullah bin Alwi. Benarkah klaim itu? Mari kita uji!
Sebelumnya, mari kit baca ibaroh kitab al-jundi berikut ini!
ومِنْ هُم أبو مَرْوَان لقبا واتْٝو عَليّ بن
أتْٛد بن سَالم بن تُ٤مَّد بن عَليّ كَانَ فقِيها ختَا كَبتَا عَنوُ انْ تشَر
العلم تْضرموت انتشارا موسعا لصلاح كَانَ وبركة في تدريسو وكَانَ صَاحب مصنفات
عديدة وَىُوَ أول من تصوف من بيت أبَا علوي اذ ىم أنما يعْرفونَ بالفقو وَت١ا بلغ
الفَقِيو ذَلك وَإن ىَذَا تصوف ىجره. وَت٦نْ تفقو بِأبي مَرْوَان أبُو زكََريََّ
خرج مقدشوه فنشر العلم بهَا وبنواحيها نشرا موسعا وَلم أتٖقق لأحد مِنْ هُم
تًَريخا.
“Sebagian dari mereka (tokoh Hadramaut) adalah Abu Marwan, sebagai laqob, adapun namanya
adalah Ali bin Ahmad bin Salim bin Muhammad bin Ali. Ia seorang ahli fikih yang
terbaik yang besar, darinya meyebar luas ilmu di Hadramaut., Karena
kesalihannya dan keberkahan pengajarannya. Ia mempunyai karangan yang banyak.
Ia adalah awal orang yang bertasawuf dari keluarga Aba Alwi. Mereka
(sebelumnya) dikenal dengan fikih. Dan ketika sampai kepadanya tentang itu dan
sesungguhnya ini telah bertasawuf lalu ia menjauhinya. Dan sebagian yang telah
belajar fikih kepada Abu Marwan adalah Abu Zakaria, ia keluar ke Maqdisyu lalu
menyebarkan ilmu di sana dan di peloksoknya dengan penyebaran yang luas dan aku
tidak mengetahui seorangpun sejarah mereka.”
Dari ibaroh ini, kita menemukan
secara dzahir, bahwa Abu Marwan seabagai keluarga Ba Alawi, dan ia merupakan
orang pertama yang menjalani tarikat tasawuf. Dan nama Abu Marwan ini tidak
lazim dipakai keluarga Habib Ba Alawi. Tapi menurut Hanif, disini, ada kalimat
yang hilang, yaitu setelah kalimat
“musonnafat adidat” terdapat kalimat “Wabihi
tafaqqaha Muhammad bin Ali Ba Alwi” lalu baru dilanjutkan kalimat “wahua awwalu…” jadi yang benar menurut
Hanif, ―belajar kepadanya (Abu Marwan), (orang yang bernama) Muhammad bin Ali
Ba Alwi (Faqih Muqoddam)…‖. Hal itu, menurut Hanif, disyahidi oleh kitab Husen
bin Abdurrahman alAhdal yang bernama Tuhfatuzzaman
fi Tarikhi Sadat al Yaman.
Setelah penulis mencari kitab ini, memang ada seperti yang
disebut Hanif, ada tambahan Muhammad bin Ali. Kekurangannya, kitab ini di
tahqia oleh Abdullah Muhammad al-Habsyi dari keluarga Ba Alawi sendiri. Bukan
penulis meragukan pentahqiq tanpa alasan, tetapi beberapa pengalaman
pentahqiqan yang dilakukan kalangan internal Ba Alawi, mulai dari kitab Abna‟ al-Imam dan al-Raud al-jaliy, selalu ada masalah. Taruhlah itu betul, bahwa ada
nama Muhammad bin Ali Ba Alwi, tetapi apakah betul itu al-Faqih al-Muqoddam?
Kita lanjutkan ibaroh al-Jundi berikut!
وَمن بيت أبي علوي قد تقدم تَ٢ُم بعض ذكر مَعَ
ذكر أبي جَدِيد مَعَ واردي تعز وىم بيت صَلَاح طريق وَنسب فيهم تٚاعَة مِنْ هُم
حسن بن تُ٤مَّد بن عَليّ باعلوي كَانَ فقِيها يحفظ الوجِيز للغزالي غيبا وََكانَ
لوُ عَم اتْٝو عبد الرتْٛن بن عَليّ بن باعلوي.
"dan sebagian dari keluarga Abi Alwi, telah terlebih dahulu disebutkan
sebagian mereka, ketika menyebutkan Abi Jadid beserta orang-orang yang datang
ke Taiz, mereka adalah keluarga kesalihan, tarekatnya dan nasabnya, diantara
mereka adalah Hasanbin Muhammad bin Ali Ba Alawi, ia seorang ahli fikih, ia
menghafal kitab al-Wajiz karya Imam gazali, ia punya
paman namanya Abdurrahman bin Ali Ba Alawi.”
Dari ibaroh ini ada nama yang
disebut al-jundi merupakan keluarga Ba Alawi, yaitu Hasan bin Muhammad bin Ali
Ba Alawi. Nama Muhammad bin Ali Ba Alwi yang disebut kembali, ia mempunyai anak
bernama Hasan. Pertanyaannya, kalau Muhammad bin Ali Ba Alwi itu al-Faqih
al-Muqoddam, seperti interpretasi Hanif, apakah al-Faqih al-muqoddam mempunyai
anak bernama Hasan?
Mari kita lihat kitab nasab Ba Alawi
Syamsu al-Dzahirah, apakah al-faqih al-muqoddam mempunyai anak bernama Hasan?
Perhatikan ibaroh di bawah ini!
ولو )اي الفقيو ات١قدم( من الولدٖ تٜسة بنتُ:
علوي وأتٛد وعلي وعبد الله اٖت١توفي بتًنً سنة ٖٙٙ وعبد الرتٛن ات١توفي بتُ
اتٟرمتُ...ٖٕٓ
“ia (al-Faqih al Muqoddam) mempunyai anak laki-laki lima: Alawi, Ahmad,
Ali, Abdullah yang wafat di Tarim tahun 663 H, dan Abdurrahman yang wafat
antara Makkah- Madinah.” (Syamsu al-Dzahirah: 78)
Jelas di sini disebutkan bahwa
al-Faqih al-Muqoddam tidak punya anak bernama Hasan. Jadi jelas pula bahwa
Muhammad bin Ali yang disebut al-Jundi itu bukan al-Faqih al-Muqoddam.
Penguat kedua bahwa Muhammad bin Ali
yang disebut al-Jundi itu bukan al-Faqih al-Muqoddam adalah kalimat ―Ia (Hasan
bin Muhammad) mempunyai paman bernama Abdurrahman bin Ali …‖ pertanyaanya,
apakah Ali ayah al Faqih al-Muqoddam mempunyai anak bernama Abdurrahman? Mari
kita lihat kitab Syamsu al-dzahirah dengan ibaroh di bawah ini!
202شمس الظهٌٌرة: 78
لو ابن واحٖد ىو الشيخ الامام محمد الشهتَ
بالفقيو ات١قدم رضي الله عنو...ٖٖٓ
“ia (Syekh Ali bin Muhammad sohib Mirbath) mempunyai anak satu, yaitu
syekh Imam Muhammad yang masyhur dengan (nama) al-Faqih al-Muqoddam…” (Syamsu
al-dzahirah: 77)
Dikatakan dalam kitab Syamsu al-Dzahirah, bahwa Ali (ayah
al-Faqih al-Muqoddam) hanya mempunyai anak satu, berarti Hasan yang disebut
al-Jundi mempunyai paman bernama Abdurrahman jelas bukan anak al-Faqih
al-Muqoddam dan bukan keluarga Habib Ba Alwi.
وَمِنْ هُم عَليّ بن باعلوي كَانَ كثتَ العبادَة
عَظِيم القدر لَا يكَاد يفتً عَن الصَّلَاة ثمَّ مَتى تشهد قالَ السَّلَام عَليْك
ايها النبِي ويكرر ذَلك فقيل لوُ فَ قَالَ لَا ازال افْ عَل حَتَّى يرد النبي صلى
الله عَليوِ وَسلم فكَانَ كثتَا مَا يكَرر ذَلك ولعلي ولد اتْٝو تُ٤مَّد ابن
صَلَاح وَلو ابن عَم اتْٝو عَليّ بن باعلوي بعض تفاصيل ابا علوي اتْٛد بن تُ٤مَّد
كَانَ فقِيها فاضلا توفّي سنة تَ قْريبا وَعٖبد الله بن علوي بَاقٍ الى الْْن
حسن التَّ عَبد وسلوكٗ التصوف. ٖٓٗ
“dan sebagian dari mereka adalah Ali bin Ba Alwi, ia banyak ibadahnya,
agung pangkatnya, ia selalu solat, dan ketika membaca tasyahhud, ketika ia
membaca „assalamualaika ayyuhannabiyyu‟, ia mengulang-ulangnya, maka ditanyakan
kepadanya (kenapa ia mengulang-ulang kalimat tersebut?), (ia menjawab): „aku
melakukannya sampai Nabi s.a.w. menjawabnya‟, maka banyak sekali ia
mengulang-ulang itu. Dan Ali mempunyai anak namanya Muhammad Ibnu Solah, ia
punya paman namanya Ali bin Ba Alwi, sebagian rincian keluarga Aba Alwi adalah
Ahmad bin Muhammad, ia seorang
77 :شمس الظهٌرة202 962/2 :السلوك: المكتبة
الشاملة209 ahli fikih yang utama, ia wafat kira-kira tahun 724 H; dan Abdullah bin
Ba Alwi, ia masih hidup sampai sekarang, ia bagus ibadahnya dan menjalani
tasawuf”.
Benarkah nama-nama ini seperti yang
disebutkan Hanif, merupakan keluarga habib Ba Alwi. Mari kita lihat satu
persatu.
Pertama, Alwi bin Ba Alwi, sangat
banyak keluarga Habib Ba Alwi yang bernama Alwi, sementara bin Ba Alwi tidak
menunjukan ayah, tetapi menunjukan kabilah. Jadi sulit untuk menelusuri siapa
dia. Tetapi Hanif, menyatakan bahwa maksudnya itu adalah Ali Khali Qosam, dan
penyebutan bin Ba Alwi itu maksudnya adalah bin Alwi tanpa Ba. Lagi-lagi, Hanif
bersyahid kitab Tarikh al-Ahdal yang di tahqiq Ba Alawi sendiri. Tapi mari kita
coba telusuri dengan kalimatkalimat berikutnya. Disitu dikatakan bahwa, Ali bin
Ba Alwi ini punya anak paman bernama Ali juga. Berarti jika dia adalah Ali
Khali qosam, maka kita telusuri apakah ayah Ali Khali qosam ini punya adik yang
mempunyai anak bernama Ali, sehingga Ali inilah yang disebut anak paman Ali
Kali Qosam. Mari kita lihat kitab Syamsu alDzahirah! ولعلويٖ ىذا ابنان: سالم لا عقب لو وعلي ات١عروف
تٓالع قسمٖٓ٘
“Alawi ini mempunyai dua putra: salim tidak
punya keturunan dan Ali yang dikenal dengan Khali‟ Qosam”. (Syamsu alDzahirah:
70)
Jelas, nama Ali bin Ba Alwi itu bukan
Ali Khali Qosam, karena Ali Khali qosam pamannya tidak punya anak, bagaimana ia
punya anak paman (sepupu) jika pamannya tidak punya anak. Jadi klaim hanif
bahwa keluarga Habin Ba Alwi disebut ditarikh al-Jundi itu terbantahkan. Begitu
pula klaim Habib Ali al-Sakran dalam kitabnya al-Burqoh al-Musyiqoh, yang
menyatakan bahwa leluhurnya Ubaid bin Ahmad itu adalah sama dengan Abdullah bin
Ahmad dengan
206شمس الظهٌٌرة: 70
berhujjah dari apa yang disebut oleh al-Jundi itu menjadi
terbantahkan pula. Maka dari sini, nasab Habib Ba Alawi sangat sulit untuk bisa
disambungkan dengan nasab Nabi Muhammad s.a.w. karena dalil mereka adalah hanya
asumsi kemiripan nama antara Ubaid bin ahmad dan Abdullah bin Ahmad.
Lalu siapa Abu Alwi yang dimaksud itu?
Abu Alwi yang dimaksud itu hanyalah keturunan Jadid bin Abdullah.
Kedua,Hanif mengatakan:
“Sebetulnya, yang menjadi salah satu focus
utama saya dalam risalah adalah mengungkap adanya kesalahan mendasar dalam
metode penelitian Imaduddin dalam hal ini yaitu syarat „harus adanya kitab yang
ditulis di zaman Ahmad bin Isa atau mendekatinya..‟”
Sebenarnya sarat itu sarat
standar dalam metode penelitian tokoh sejarah. Harus ada kitab sezaman (primer)
atau yang mendekatinya (sekunder). Artinya kitab yang ditemukan terdekat yang
tidak dibantah oleh kitab terdekat lainnya yang lebih tua. Ketika kitab tahun
606 H. menyatakan bahwa Ahmad hanya mempunyai anak tiga, lalu ada kitab abad 8
menyatakan tambah satu, maka kitab abad ke dealapan ini tertolak. Kecuali jika
tidak ada bantahan kitab lainnya di antara rentang masa Ahmad bin Isa dengan
kitab abad delapan itu. Inilah sanad. Jika sebuah periwayatan tanpa sanad maka
intisari ajaran Islam ini akan semrawut. Nasab keturunan Nabi Muhammad s.a.w.
memiliki konsekwensi keagamaan, semisal bab zakat, khumus dsb.
Hanif mengkritik, kenapa penulis ketika
mencari dalil dari Ali al-Uraidi sampai Ali Zainal Abidin hanya menggunakan
sebuah sanad hadits riwayat Turmudzi?
Seperti para ahli ilmu
mengetahui, bahwa para muhaddits seperti Turmudzi dll, memiliki keketatan
tersendiri dalam meriwayatkan hadits, lebih dari keketatan para ahli nasab.
Dan, masa itu, nasab Ali Zainal Abdin sampai Ali al-Uraidi masih sangat masyhur,
dan telah menjadi ―syuhrah wal istifadah‖ baik dikalangan ahli ilmu maupun
awam. akan kecil kemungkinan urutan sanad riwayat yang menyebut nama-nama
masyhur seperti mereka salah.
Ketiga, Hanif menyatakan bahwa nasab
Abdullah sebagai anak Ahmad telah disebutkan oleh al-Ubaidili (w. 435 H),
demikian itu terdapat dalam kitab al-Raudl al-Jaliy karya Az-Zabidi (w. 1205).
Penulis telah menulis tentang ini dan jelas ada dua kitab cetakan yang berbeda
isi. Penulis tidak akan membahas panjang lagi tentang kitab ini, karena telah
tercederai oleh riwayat yang saling bertentangan. Dalam bab air, jika ada dua
wadah, yang satu berisi air dan yang satu berisi air kencing, kemudian keduanya
iltibas (tertukar) maka keduanya tidak boleh kita gunakan untuk wudu. Keduanya
harus dibuang lalu kita tayammum. Ditambah, yang diriwayatkan al-Zabidi itu
nama Abdullah, bukan Ubaidillah. Jelas tidak mempengaruhi apapun, seperti yang
telah penulis jelaskan Abdullah tidak sama dengan Ubaidillah.
Keempat, Hanif menyatakan tentang kitab
al-Suluk. Telah penulis jelaskan bantahannya di atas.
Kelima, Hanif mengutip pendapat penulis
tentang yang tidak boleh menerima zakat dalam kitab penulis al-Fikrah
al-Nahdliyyah. Di dalam kitab tersebut memang penulis menyebutkan bahwa
sebagian dari Bani hasyim adalah Ba Alawi dengan silsilah yang sama dengan
nasab habib itu, karena memang pengetahuan penulis waktu menulis kitab (tahun
2017) itu demikian. Seakan-akan Hanif ingin mengatakan bahwa penulis tidak
konsisten dalam pendapat. Perlu diketahui, perebedaan pendapat seorang
ulamadalam kitab-kitabnya yang berbeda-beda itu sudah biasa. Tinggal dilihat
titimangsanya. Kitab yang terakhir itulah yang menjadi pegangan jika ada
pendapat yang bertentangan. Dan pendapat penulis tentang nasab Ba Alawi itu
telah pnulis anulir dalam kitab penulis yang lain, yaitu kitab al-Bayan
alDzahabi, dan kitab al muktafi, syarah Nihayatuzzain juz 1. (imaduddin
Utsman al-Bantani)
MENANGGAPI
HABIB ALI ZAINAL ABIDIN KETUA NAQOBATUL
ASYROF RABITAH ALAWIYAH DAN SYEKH MAHDI ARROJA’I
Habib Ali Zainal Abdidin Assegaf, ketua
Naqobatul Asyrof alKubro (selanjutnya disebut ketua NA) yang merupakan lembaga
pemeliharaan nasab di bawah Rabitah Alawiyah, membuat sebuah video tentang
ketersambungan nasab Ba Alawi kepada Ahmad bin Isa. Video tersebut di unggah
oleh Sikam TV pada 10 Mei 2023 dengan judul ―Ketua Naqobatul Asyrof Al Qubro
Angkat Bicara.!! AlHabib Zainal Abidin Assegaf.‖
Selain itu, telah sampai kepada
penulis, selembar kertas yang berisi pendapat seorang pakar nasab yang bernama
Syekh Mahdi alRoj‘ai, yang menyatakan bahwa nasab Ba Alawi telah mashur sebagai
keturunan Ahmad al-Muhajir.
Pertama penulis akan menanggapi tentang video ketua NA.
Yang disampaikan ketua NA
tersebut relative sama dengan yang disebut Habib Hanif Alatas. Namun ada
beberapa hal yang dapat penulis tanggapi, diantaranya:
Ketua NA menyatakan, bahwa
penulisan nasab Ba Alawi sudah berlangsung sejak masa Syekh Salim bin Basri (w.
604). Syekh Salim bin Basri, menurut ketua NA, adalah Salim bin Basri bin
Abdullah bin Basri bin Ubaidillah bin Ahmad bin Isa, dari internal keluarga Ba
Alawi. Menurut ketua NA, Syekh Salim bin Basri, menulis sebuat kitab nasab
bernama ―Asyajarah al-Kubro‖ . jika pada masa itu betul dari keluarga Alawi
sudah ada seorang ulama yang sekaligus seorang nassabah (ahli nasab) yang
menulis kitab nasab, maka, seharusnya, semakin mudahlah bagi bagi ulama nasab
lain untuk mendeteksi keluarga Alawi untuk dicatat dikitab nasab mereka.
Namun nyatanya, pada masa abad ke
6 dan 7 hijriyah tersebut, nasab keluarga Alawi tidak tercatat dalam
kitab-kitab nasab yang mencatat keturunan Nabi Muhammad s.a.w. dan nama Syekh
Salim bin Bashri, adalah nama yang majhul (tidak dikenal) dalam kalangan ulama
nasab pada masa itu. Kitab Tabaqat al-Nassabin, yaitu kitabkitab yang memuat
para ahli nasab sepanjang zaman, karya Bakar Abu Zaid, pun tidak menyebut nama
Syekh Salim bin Bashri sebagai salah seorang ahli nasab yang mempunyai kitab.
Lalu, dari mana kita dapat
mengkomfirmasi bahwa benar Syekh Salim bin Bashri ini pernah menulis sebuah
kitab berjudul ―Asyajarah al-Kubro‖? penulis meyakini, berdasarkan data-data
ilmiyah, bahwa pensibatan keluarga Alawi kepada Nabi Muhammad s.a.w. dimulai
sejak Habib Ali al-Sakran (w.895) menulis kitab al-Burqot al musyiqoh. jika
betul Syekh Salim bin Bashri ini menulis kitab pada tahun 590 H., seperti yang
disebutkan ketua NA, kenapa Habib Ali alSakran tidak menyebutkannya? Mengapa
justru yang dijadikan rujukan Habib Ali al-Sakran adalah kitab al-Jundi (w.730
H.)? yaitu ketika ia berkesimpulan bahwa Ubaid, leluhurnya itu, adalah orang
yang sama dengan Abdullah bin ahmad bin Isa.
Di dalam kitab al-Burqoh halaman
135, Habib Ali al-Sakran menyebut nama Salim bin Bashri, tetapi ia tidak
menyebutkan bahwa Salim bin Bashri mempunyai kitab nasab. Padahal disebutkan
oleh ketua NA, bahwa pendiri Naqobatul Asyrof al-Kubro adalah Habib Umar Muhdor
(w. 833 H) lalu dilanjutkan oleh Habib Ali al-Sakran. Sesuatu hal yang aneh
jika Habib Ali al-Sakran sebagai Naqobatul Asyraf pada zamannya tidak
mengetahui kitab ―Asyajarah al-Kubro‖, tetapi ketua NA sekarang mengetahuinya.
Padahal jaraknya sudah 854 tahun sejak ditulis tahun 590 H. Kemana saja kitab
itu selama itu?
Penentuan usia manuskrip dalam
penelitian filologi dapat dilakukan dengan 2 cara, yaitu evidensi internal dan
evidensi eksternal. Evidensi internal adalah penentuan usia naskah berdasarkan
keterangan yang terdapat di dalam naskah yang diteliti. Keterangan itu terdapat
dalam manggala (keterangan di awal karya) dan kolofon (keterangan di akhir
karya). Cara tersebut digunakan untuk menentukan saat paling awal karya itu
ditulis.
Evidensi eksternal adalah penentuan usia
naskah berdasarkan data yang yang terdapat di luar naskah. Penentuan ini
menggunakan 3 cara, yaitu penyebutan nama karya pada karya lain, prasasti dan
pembandingan penggunaan bahasa pada karya yang diperkirakan sezaman. Para
filolog juga menggunakan metode watermarks dalam menentukan usia sebuah
manuskrip. Yaitu dengan melihat jenis kertas yang digunakan.Sebuah manuskrip,
memang bisa direkayasa, tetapi ilmuan punya cara untuk meneliti keasliannya
dengan metodologi ilmiyah.
MENJAWAB SYEKH MAHDI ARROJA’I
Para pendukung nasab Ba Alawi,
nampaknya, meminta bantuan Syekh Mahdi Arroja‘I untuk memperkuat dalil
ketersambungan nasab mereka. Dengan selembar surat yang ditandatanganinya,
Syekh Mahdi Arroja‘I menyatakan bahwa nasab Ba Alawi telah masyhur sebagai
keturunan Ahmad al-Muhajir. Surat itu ditandatangani pada 15 Romadon 1444 H.
beberapa hari yang lalu.
Penetapan yang tanpa dalil sama saja
bukan penetapan, hanya pendapat yang layak diabaikan. Yang kita butuhkan adalah
dalil, bukan pendapat pribadi. Karena jika ada sebuah dalil yang kuat maka
semua orang akan berkesimpulan yang sama. Jika tidak ada dalil, maka pendapat itu
pendapat yang bisa dipengaruhi hal-hal lain, dan setiap orang bisa berbeda
tergantung hal yang mempengaruhinya itu.
Sebenarnya, meminta Syekh Mahdi Arroja‘I
untuk membuat surat khusus bahwa nasab Ba Alawi diakui tidak diperlukan, karena
memang beliau dalam kitabnya sudah mengakui nasab Ba Alawi walau tanpa dasar
yang jelas. jadi seharusnya, pembela nasab Ba Alawi tinggal tunjukan kitab itu,
bahwa Syekh Mahdi Arroja‘I, ulama dari Iran, menyebut nama Ubaidillah sebagai
anak Ahmad, tidak mesti harus meminta beliau membuat surat pernyataan khusus.
Lihat dalam kitabnya, al-Mu‘qibun min
Ali Abi Talib Alaihissalam, juz 2 hal 419, ia menyebut anak Ahmad bin Isa
berjumlah empat, Muhammad, Ali, Husain dan Ubaidillah. Pertanyaannya, darimana
beliau menukil bahwa Ahmad bin Isa mempunyai anak bernama Ubaidillah? Jika dari
kitab, lalu kitabnya kitab apa? Jika dari selain kitab, lalu alasannya apa?
Beliau tidak menjelaskan secara rinci. Beliau hanya menyebutkan bahwa anak
Ahmad bin Isa berjumlah empat: Muhammad, Ali, Husain dan Ubaidillah, tanpa
menyebutkan referensinya. Ada ungkapan menyatakan: ت٨ن أصحاب الدليل حيثما يديل نميل
“Kami adalah “ashabuddalil” (orang yang
berpatokan kepada dalil), kemana saja dalil menuju disitu kami menuju”
Sementara, apa yang disebut syekh
Mahdi Arroja‘I tidak punya dalil, maka pendapat itu pendapat yang tertolak,
karena belum bisa menyambung keterputusan nasab Ba Alawi tersebut selama 550
tahun.
Namun, penyebutan Syekh Mahdi arroja‘I bahwa Ubaidillah
sebagai anak ahmad mempunyai hikmah, Yaitu, hilangnya keraguan akan keabsahan
kitab ―Asyajarah al-Mubarokah‖, kenapa? Karena, kitab tersebut ditahqiq oleh
Syekh Mahdi Arroja‘I.
sebelumnya, pentahqiqan kitab itu
dipermasalahkan. Dianggap penisbatan Imam al-Fakhruroji sebagai pengarang kitab
tersebut hanya ulah oknum pentahqiq yang berideologi syi‘ah yang membenci
keluarga Ba Alawi yang sunni. Hal demikian tidak terbukti, karena, walau kitab
yang ditahqiqnya, yaitu al-syajarah al-Mubarokah tidak menyebut Abdullah atau
Ubaidillah sebagai anak Ahmad, syekh Mahdi arroja‘I, dalam kitabnya sendiri
menyebut Ubaidillah sebagai anak Ahmad.
Hal tersebut menunjukan,
kejujuran ilmiyah pentahqiq kitab alsyajarah al-Mubarokah dan kekuatannya untuk
dijadikan pegangan para pemerhati nasab keturunan Nabi Muhammad s.a.w. adapun
penyebutan Syekh Mahdi Arrojai terhadap Ubaidillah sebagai anak Ahmad, menurut
penulis, mungkin, karena beliau menukil dari kitab nasab Tuhaftuttolib atau
kitab al-Burqoh. Yang keduanya tidak mempunyai ketersambungan dengan kitab-kitab
sebelumnya.
(ditulis oleh: Imaduddin Utsman al-Bantani)
MENJAWAB TENTANG BAHWA NASAB HABIB SUDAH
DISEBUT
PARA ULAMA BESAR
Para habaib sering mengungkapkan narasi
bahwa, nasab para habib Ba Alawi sudah terang benderang bagaikan matahari di
sianghari. Jika di siang hari, dalam keadaan matahari terang benderang, ada
orang yang tidak bisa melihat, maka hanya ada dua kemungkinan, kalau tidak ia
buta, maka ia sedang sakit mata.
Bagi penulis, nasab para habib Ba
Alawi, bagaikan gurun sahara di malam likuran, tiada bulan tiada bintang. Jika
ada yang menyatakan ia terang benderang, maka hanya ada dua kemungkinan, kalau
ia tidak sedang bermimipi melihat matahari, maka ia bagaikan katak dalam
tempurung yang diletakan didalamnya lampu 150 watt.
Nasab Ba Alawi terputus periwayatannya
selama 550 tahun. Itu fakta. Artinya, sejak Ahmad bin Isa wafat, baru setelah
550 tahun, ada penyebutan, bahwa Ahmad bin Isa mempunyai anak bernama
Ubaidillah. Ulama-ulama nasab sebelumnya tidak ada yang menyebut nama
Ubaidillah sebagai anak Ahmad.
Penyebutan Ubadillah sebagai anak
Ahmad setelah 550 tahun itu-pun, setelah diteliti, ternyata bermasalah, karena
nama Ubaidillah disebut sebagai anak Ahmad bin Isa, dapat dikatakan, hanya
ditulis oleh keluarga dan orang yang ada kaitan dengan Ba Alawi saja, baik
kolega maupun murid.
Di bawah ini, penulis tunjukan beberapa
contoh, ulama-ulama yang menyebut Ubaidillah sebagai anak Ahmad bin Isa, yang
mereka mempunyai hubungan emosional dengan Klan Ba Alawi.
HABIB
ALI AL SAKRAN
Nama Ubaidillah sebagai anak Ahmad,
pertama ditulis oleh Habib Ali al sakran (w.895 H.). ia adalah keturunan
langsung dari
Ubaidillah. Silsilah lengkapnya adalah Ali bin Abubakar bin
Abudurrahman bin Muhammad Mauladawilah bin Ali bin Alwi bin Muhammad Faqih Muqoddam
bin Ali bin Muhammad Sohib Mirbat bin Ali Khali Qisam bin Alwi bin Muhammad bin
Alwi bin Ubaidillah. Habib Ali al-Sakran, berasumsi bahwa nama Abdullah bin
Ahmad, yang disebut dalam kitab al-jundi (w. 730 H.), adalah nama yang sama
dengan leluhurnya yang bernama Ubaid bin Ahmad.
SYAIKH
YUSUF AN-NABHANI
Salah seorang yang menyebut nasab Ba
Alawi adalah Syaikh Yusuf al-Nabhani (w. 1350 H). ia bukan keluarga Ba Alawi.
penyebutan oleh An-Nabhani ini, banyak dinukil oleh pembela nasab Ba Alawi
sebagai salah satu hujjah ketersambungan nasab Ba Alawi. ia sufi yang juga
seorang qodli.
Dalam kitabnya, Riyadul jannah fi
Adzkaril Qur‘an wassunnah, ia memuji nasab Ba Alawi. Yang harus dicari tahu
adalah, Kenapa ia memuji? Apakah ia memuji setelah melakukan penelitian dan
pengkajian yang detail tentang nasab Ba Alawi, atau karena hal lain? Missal,
karena ia punya guru, teman atau kolega dari Ba Alawi.
Setelah penulis telaah, ternyata ia
memuji nasab Ba Alawi, bukan karena ia telah meneliti nasab tersebut, tetapi
karena ia bergaul dengan sebagian mereka yang penuh akhlak mulia. Selain itu,
ia menemukan dari kitab-kitab karya Ba Alawi yang, menurutnya, penuh dengan
―huda‖ (petunjuk). Disamping itu, ia saling berkirim surat dengan mereka dan
mendapat balasan dengan bahasa yang penuh kelembutan dan ketawadu‘an. Jadi ia
memuji nasab Ba Alawi, bukan karena penelitiannya, tetapi dari hal lain selain
itu.
Dapat ditambahkan pula, bahwa ia
mendapatkan banyak referensi untuk kitab yang ditulisnya tersebut, dari koleganya
yang seorang ulama Ba Alawi, ia bernama Habib Zainal Abdidin Jamalullail. Habib
tersebut meminjamkan dua buah kitab karya kakeknya yang berjudul ―Rahatul Arwah
bi Dzikril Fattah‖ dan hasyiyahnya.
Jika Syaikh Yusuf an-Nabhani,
berkesimpulan bahwa nasab Ba Alawi adalah sahih dilihat dari akhlak para Ba
Alawi yang baik, maka demikian pula sebaliknya, tidak bisa disalahkan, jika ada
orang yang menyatakan nasab Ba Alawi batil karena ia berjumpa dengan kalangan
Ba Alawi yang akhlaknya tidak baik, walau tanpa penelitian.
Maka penulis berkesimpulan, yang dinyatakan
oleh Syekh Yusuf an-Nabhani tentang sahihnya nasab Ba Alawi tersebut, termasuk
dalam bab husnuzhon saja. Kepada yang ada waktu untuk menelaah, silahkan
menelaah kitab syaikh Yusuf an-Nabhani, Riyadul jannah fi Adzkaril Qur‘an
wassunnah, halaman 23 samapai 24. Ditambah, dalam biografinya, ia disebut
mempunyai dua guru dari klan Ba Alawi, yaitu Habib Ahmad bin Hasan Alatas dan
Habib Hasan bin Muhammad Alhabsyi.
IBNU
HAJAR AL-HAITAMI
Ibnu Hajar al-haitami dikatakan menyebut
silsilah Ba Alawi sampai kepada Rasulullah, benarkah? Dalam kitabnya ―Tsabat
Ibnu Hajar al-haitami‖, Ibnu hajar menyebutkan sanad ―lubsul khirqoh‖, yaitu
tanda ijajah dalam tarikat dengan menyematkan semacam kain kepada seorang murid.
Ibnu Hajar al-haitami
menjelaskan, bahwa salah satu sanad dalam lubsul khirqoh yang dimilikinya
adalah dari Imam Abu Bakar Al-Idrus. Di mana sanad itu bertaut kepada Syaikh
Abdul Qadir alJaili (al-jailani), al-Rifai, al-Suhrawardi dll. Di dalam kitab
itu pula Ibnu Hajar mengutip perkataan Abu Bakar al-Idrus, bahwa ia memiliki
sanad lubsul khirqah yang menyambung kepada rasul melalui ayahnya terus ke
kakeknya sampai kepada Rasul. (Lihat kitab al-tsabat Ibnu Hajra al-haitami
halaman 212 sampai 213).
Jadi bukan Ibnu Hajar menetapkan bahwa
nasab Ba Alawi tersambung ke Nabi Muhammad s.a.w. tetapi ia hanya mengutip
ucapan Syaikh Abu Bakar al-Idrus.
MURTADLO
AZZAIBIDI
Salah satu andalan pembela nasab
Ba Alawi adalah kitab Arraudul Jali yang dikarang oleh Syaikh Murtado Azzabidi.
Dikatakan bahwa, seorang ulama besar, pengarang kitab syarah Ihya Ulumuddin
telah menetapkan nasab Ba Alawi tersambung kepada Nabi Muhammad s..a.w.
benarkah?
Syekh Murtado Azzabidi, mengarang kitab
Arraudul Jali atas perintah gurunya yang bernama Habib Mustofa bin Abdurrahman
Alidrus. (lihat Arraudul Jali halaman 13) Ketika ia diperintahkan itu ia masih
berumur duapuluh tahun (lihat halaman 12).
Dikatakan oleh Muhaqqiq, syaikh Arif
Abdul ghani, bahwa ketika itu Habib Alidrus tersebut datang menemui Azzabidi di
Toif tahun 1166 H. dan tinggal di sana selama enam bulan. (lihat halaman 16).
Dari situ, kita dapat menyimpulkan bahwa, penulisan nasab itu sejatinya adalah
pesanan gurunya, dan bahan-bahan penulisan tentang Ba Alawi-pun, kemungkinan
besar, berasal dari riwayat gurunya tersebut. Jadi, hujjah bahwa seorang ulama
besar yang bernama Azzabidi mengesahkan nasab Ba Alawi pun menjadi rancu,
apakah benar bahwa Azzabidi menulis sesuai keilmuannya pada saat itu, atau
sesuai data yang disiapkan gurunya tersebut?
SYAIKH MAHDI ARROJA’I
Syaikh Mahdi Arroja‘I, ulama
kontemporer, adalah salah satu ulama yang menulis nama Ubaidillah sebagai anak
Ahmad bin Isa. Dalam kitabnya ―al-Mu‘qibun‖ ia menulis bahwa anak Ahmad bin Isa
berjumlah empat orang: Muhammad, Ali, Husain dan Ubaidillah. Bahkan, beberapa
hari lalu, ia sampai mengirimkan selembar surat yang menyatakan nasab Ba Alawi
tersambung kepada Ahmad bin Isa. Siapa beliau?
Beliau adalah ulama nasab yang bekerja
di Yayasan Nasab yang didirikan oleh Syekh Al-Mar‘asyi al-Najafi (w. 1411 H.).
penulis meneliti dari mana ia mencantumkan nama Ubaidillah sebagai anak Ahmad
bin Isa. Karena dalam kitabnya, al-Mu‘qibun, ia tidak menjelaskan darimana
pengambilannya.
Setelah penulis teliti, maka
penulis mendapatkan titik terang, bahwa Syekh Mahdi Arroja‘I mendapatkan nama
Ubaidillah ini dari catatan Syekh Al-mar‘asyi sendiri, yaitu pendiri yayasan di
mana ia bekerja. Catatan itu terdapat dalam footnote kitab ―Tahdzibu Hada‘iqil
Albab‖ karya al-Amili (w. 1138 H.) yang ditahqiq oleh Syekh Mahdi
Arroja‘i. dalam kitab kitab itu, nama Ahmad disebut
tidak mempunyai anak bernama Ubaidillah, namun pentahqiq, Syekh Mahdi Arroja‘I,
membuat footnote bahwa Syekh al-mar‘asyi mencatat bahwa Ahmad mempunyai anak
bernama Ubaidillah. Lalu siapa Syekh Al-Mar‘asyi?
Syekh Al-Mar‘asyi, nama lengkapnya
adalah Syaikh Syihabuddin al-Mar‘asyi al-Najafi. Ia adalah murid seorang habib
keturunan Ba Alawi yang bernama Habib Muhammad Aqil al-Alawi al-Hadrami (w.
1350 H.) pengarang kitab al-Atbul Jamil. (lihat kitab Tahdzib halaman 278).
Ini adalah beberapa contoh, di
mana ulama-ulama yang mencantumkan Ubaidillah sebagai anak Ahmad, selalu ada
hubungan emosional dengan klan Ba Alawi.
Sebelum penulis akhiri artikel
ini, ada hal yang ingin penulis sampaikan, terkait pernyataan sebagian
kalangan, bahwa signifikansi konfirmasi kitab nasab sezaman tidak diperlukan.
Dan persyaratan konfirmasi kitab sezaman, yang penulis tulis dalam buku
menakar, menyalahi para ahli nasab. Penulis akan menukil ucapan seorang ahli
nasab yang masih hidup dari Hijaz, ia adalah Sayyid Ibrahim bin mansur. Dalam
kitabnya, al-Ifadloh, ia menyatakan:
اما الادلة على ان دعوي ات١تأخرين من الطبريتُ
للنسب اتٟسيتٍ العلوي حادثة لا اصل ت٢ا، ان كتب التواريخ ات١تقدمة لم ترفع نسب
الطبريتُ الى النسب اتٟسيتٍ العلوي )الافاضة: ٘ٙ(
“Adapun
dalil-dalil bahwa pengakuan orang-orang belakangan dari kaum tabariyyah kepada
nasab al-Husaini alAlawi, itu adalah (pengakuan) baru yang tidak mempunyai
dasar, (adalah karena) kitab-kitab tarikh yang tua tidak menyambungkan nasab
kaum Tabariyah kepada nasab al-
Husaini al-Alawi.” (al-Ifadloh: 56)
Perhatikan, Sayyid Ibrahim bin
Mansur yang menyatakan nasab kaum Tabariyah di Makkah tidak tersambung dengan
nasab alHusaini, ia menyimpulkannya berdasarkan kitab-kitab tua yang menyatakan
bahwa nasab kaum Tabariyah ini terputus. Padahal kaum tabariyah dikenal pada
abad 14 sebagai keturunan Nabi yang derajat kemasyhurannya sudah istifadlah,
bahkan sebagian ulama, misalnya
Qodi Ja‘far li bani Makkiy, menyatakan ia telah
qot‘I sebagai keturunan Nabi Muhammad s.a.w. (lihat kitab al-Hadits syujun
halaman 94), tetapi, ketika diteliti, ternyata kemasyhuran pada masa sekarang,
tidak menjamin ketersambungan nasab ini, berdasarkan kesaksian kitab-kitab tua.
Bahkan Kaum tabariyyin ini disimpulkan baru mengaku sebagai keturunan Nabi pada
abad kesembilan. Sementara pada abad 5,6,7,8 nasab ini majhul. Sama
peristiwanya seperti nasab Ba Alawi.
(penulis: Imaduddin Utsman al-Bantani)

Posting Komentar untuk "LANJUTAN BAB IV: UBAIDILLAH DAN ABDULLAH BUKAN SATU ORANG BERDASAR KITAB AL-SULUK"
Terima kasih kunjungannya, silahkan beri komentar ...